Hallooo udah lama nih aku ga nulis di blogku, critanya mo ngobrolin masalah sejarah politik niih temens, buat gambaran dulu dr sejarah yang aku tau di masa “Orde Lama”,
kesadaran politik menjadi bagian dari kehidupan rakyat sehari-hari.
Politik atau partai dan berpartai bukan jadi hal yang menakutkan lhoo, justru
menjadi bagian dari makanan dan minuman jasmani harian. Seperti ungkapan ini niih : “
orang tidak hidup dari roti saja….” terasa nyata banget. Bahkan nih ya dalam keadaan lapar,
orang masih memikirkan perkembangan politik, arah berbangsa dan
bernegara (salut berat yah). Sampe sampe yaa orang yang ga ngikutin perkembangan politik akan malu
bergaul dengan masyarakat yang sangat sadar situasi politik baik
nasional maupun internasional (bukan maen yah temans kebayang ga sih kalo politik itu segitu 'bersahabatnya' dengan rakyat). Bahkan ya di masa itu, ada lembaga
kebudayaan yang mencanangkan bahwa “Politik adalah Panglima” yang
menuntut pengetahuan politik didahulukan sebelum mengerjakan aktivitas
yang lain-lain. Secara umum, politik yang ditanamkan ke rakyat waktu itu
adalah kesadaran berlawan terhadap imperialisme. Jadi ga heran tuh ya kalo kesadaran
politik yang tinggi yang mengancam kuasa dan modal negara-negara
imperialis ini dihancurkan dan dipecah-belah usaha politik persatuan
nasionalnya dengan keji secara fisik dan mental hmmm.... Secara fisik dan
mental, sebenernya usaha mencegah berlangsungnya politik persatuan nasional masih
terus berlangsung sampe sekarang yang mewujud pada politik diskriminasi dan
penyerangan secara fisik terhadap kaum minoritas baik berdasarkan suku,
agama, ras, golongan dan keyakinan atau ideologi.
Nah sementara itu di masa Orde Baru, politik atau partai justru dikambinghitamkan sebagai
biang kesusahan rakyat dan amburadulnya negeri. Politik adalah kotor.
Rakyat dianjurkan untuk ga menjamah sama sekali , menggauli dan mempelajarinya. Partai pun ga lagi dianggap menjadi alat perjuangan rakyat sebagaimana
partai-partai yang berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Partai
hanya berisi orang-orang yang ga berkarya, pengangguran dan serakah
baik terhadap kekuasaan maupun kekayaan. Hanya Golongan Karya yang bukan
partailah yang boleh memimpin negeri. Masa masa Orde Baru, rakyat
menjadi ga berkesadaran politik. Yang masih nekad bergelut dengan
politik, bisa bisa digebuk, di penjara, dilenyapkan dan dibunuh. Rakyat dipaksa
rasional: untuk apa bersusah payah dengan politik. Pilihan yang rasional
adalah mengikuti saja tawaran hidup yang disuguhkan oleh Orde Baru:
berekonomi tanpa perlu bertanya teori yang melandasinya, berpolitik
tanpa perlu bertanya teori yang melandasinya. Slogan yang popular di
masa ini: Politik No Pembangunan Yes. Politik menjadi
kata yang menakutkan; barang yang menjijikkan hingga seorang rohaniawan
tingkat tinggi pun bisa segera menjauh ketika mendengar kata Politik
atau Partai disebutkan seperti mendengar setan bertempik
(minjem ungkapan Chairil Anwar). Yaaah secara garis besar, politik Orde
Baru yang berlangsung tiga dasawarsa lebih dua tahun itu secara nyata
menyempurnakan penghancuran kesadaran dan keberanian politik rakyat yang udah dimulai sejak tahun 1965. Hasilnya sampai sekarang masih terasa.
Di masa reformasi, situasi politik sudah terbuka walau masih
ditumbuhkan ketakutan terhadap ideologi politik tertentu. Pemilu tahun
1999 dianggap sebagai pemilu paling demokratis setelah pemilu pertama
1955. Akan tetapi situasi politik yang terbuka itu yang ditandai dengan
berdirinya partai-partai dan dilaksanakannya Pemilu secara langsung tak
berarti rakyat semakin dekat dengan politik. Politik dan partai masih
diwacanakan buruk sebagaimana wacana Orde Baru. Rakyat dari hari ke hari
justru ga didekatkan dengan politik tapi semakin dijauhkan dari
politik dengan cara yang sangaaaat lain yang terlihat rasional sebagai
pilihan publik. Bila Orde Baru membuat rakyat takut terhadap politik
karena ancaman ini dan itu dan kadang seperti orang tua melarang
anak-anaknya: jangan ini- jangan itu sambil membawa pentungan, di masa
reformasi ini, ketakutan terhadap politik atau partai datang justru
dari diri sendiri atas pertimbangan atau pilihan yang seakan rasional
berdasar pengalaman atau kenyataan yang ada. Kenyataan yang ada ini
adalah praktik politik dewasa ini yang transaksional hmmm.... (tarik nafas dalam2)
Ketakutan akan biaya yang besar seperti diomongkan pendapat umum atau
diberitakan di koran-koran cukup membuat seseorang ga mau bahkan kapok mikirin dunia
politik. Kompas (26/4) pun menulis Angka-angka Fantastis di Pemilu 2014,
bagaimana seorang caleg membutuhkan dana sekitar Rp 1,5 miliar untuk
kampanye pada pemilu 2014. Dalam kerangka ini, disertasi Wakil Ketua
DPR Pramono Anung yang menyatakan: biaya kampanye anggota DPR pada
pemilu 2009 sebesar Rp 200 juta-RP 6 miliar bahkan ada yang Rp 20
miliar, hanyalah meneguhkan ketakutan rakyat untuk terlibat politik.
Rakyat yang ga punya Rp 200 juta akan mundur dan menjauh dari dunia
politik (yang kotor, mahal dan korup) dengan pertimbangan yang seakan
rasional. Akibatnya, rakyat berpikir lebih baik berspekulasi di dunia ekonomi daripada
politik. Disini menjadi jelas di masa reformasi ini, propaganda tentang politik
yang biayanya mahal menjauhkan rakyat dari gelanggang politik dan lebih
baik melenggang ke gelanggang ekonomi atau bisnis sebagaimana dianjurkan
oleh Dahlan Iskan: anak muda lebih baik tidak terjun ke politik tapi
lebih baik berbisnis. Secara rasional, bila tak punya biaya, lebih baik
jangan berpolitik atau daripada berspekulasi di dunia politik yang tak
jelas… lebih baik berspekulasi di bidang ekonomi riil.
Tapi menurut aku nih temens justru ga berfikir gitu deh, jalan politik atau pun ekonomi tidaklah selalu harus
dipertimbangkan secara rasional oleh rakyat (yang ga punya Rp 200
juta). Politik dalam hal tertentu memang mahal karena di sana ada
nilai-nilai yang diperjuangkan dengan penuh pengabdian, sepenuh jiwa
bahkan menuntut pengorbanan yang ga bisa diukur dengan uang. Di sisi
lain, politik rakyat bisa dikatakan murah: hanya menuntut keberanian
yang itupun di masa Orde Baru susah didapatkan. Sebagai ilmu, politik
sebaiknya juga bekerja di atas teori-teori yang udah teruji atau memang
harus diuji dalam praktek.
Jadi critanya niih melalui tulisan ini aku kepengen ngajak semuaaaaa temen temen untuk mau maju melibatkan diri dalam politik, jangan lagi bisik bisik dibelakang , ingat anak anak kita , mau jadi apa mereka nanti kalau kita kita ini sampai seusia ini benar benar tidak belajar merubah faham yang baik untuk sebuah PEMILU , Pemilu ada milik kita semua, hak pribadi setiap warga negara, pilih dengan mata hatimu ya temans , jangan dengarkan kanan kiri, jangan mau tergoda dengan rupiah dan janji janji, inget ya harga diri kita bukan sebesar 'semangkok bakso' yang nikmat sesaat ga sampe 1 jam, mari kita ingat ingat apa yang kita lakukan sekarang kelak anak anak kita yang akan merasakan kebaikan atau keburukannya atas apa yang menjadi keputusan kita saat Pemilu nanti , waduuuuh kalo sdh ngomong soal yang satu ini terus terang hatiku ini gemeeees banget temans, gimana enggak masih banyak dari kita yang sungguh ga bisa banget berfikir bahwa hal yang keliatannya 'kecil' seperti 'mencoblos saat Pemilu' akan menjadikan hal besar dan contoh besar untuk anak anak kita kelak. Percayalah nasib anak anak kita berada atas doa kita temans, InsyaAllah dengan niat yang baik dengan hati yang bersih dengan doa kita untuk bangsa dan anak anak bangsa kelak Tuhan akan mengabulkan doa kita semua,amiin._
Hal lain yang yang aku ingin bagi niiih disini , ayo bersama sama kita doakan supaya hati kita diberikan taufik dan hidayahNya, dalam setiap keputusan langkah kaki dan tangan kita ini supaya berjalan selalu dijalanNya , memohon untuk dijaga hati dari keputus asaan , mari temans kita bangkit demi anak anak kita nanti , ga ingin kan kelak anak anak cucu cucu kita terpuruk ?
Ok semoga sedikit banyak berguna ya temans tulisanku ini ,
Luv _
Salam Indonesia Raya
Esti Faridah